Buzzer lewat wahana follower-nya mampu mengonstruksi opini baru, bahkan melawan opini lama yang telah kokoh diterima. Pengetahuan tentang bumi bulat, pentingnya vaksin, maupun manfaat telur bagi kesehatan goyah oleh mekanisme ini.
Dalam tulisan itu dideskripsikan kedahsyatan 30 orang yang dinilai the greatest dalam memanfaatkan detik-detik terakhir laga bola basket. Buzzer beater adalah konsep yang menjelaskan tentang pemain yang berhasil menciptakan momen memasukkan bola ke jaring lawan di saat hampir bersamaan dengan detik terakhir permainan. Seringkali pula, momen itu terjadi saat bola masih melayang, sedangkan buzz sudah berbunyi. Bagian ini pula sering jadi adegan paling dramatis ketika pertandingan bola basket jadi latar sebuah film. Biasanya, antara tim yang tak terkalahkan vs kelompok pebasket yang tak diunggulkan.
Tak hendak beralih pada urusan perbasketan ketika membahas buzzer dalam tulisan ini, perkembangan teknologi digital, dalam keniscayaannya, diiringi adanya problematika kultural. Salah satunya disumbangkan oleh keberadaan buzzer itu. Namun demikian, harus diterima bahwa buzzer telah jadi realitas terberi dalam praktik ekonomi maupun politik.
Dalam menjalankan peran komunikasinya, posisi buzzer tak jarang disandingkan dengan influencer maupun endorser. Ketiganya tampak mirip, tetapi beda peran. Influencer adalah pemilik akun dan pelaku komunikasi digital yang cukup kerap dibahas. Ia bekerja dengan memanfaatkan media sosial untuk membangun pengaruh pada khalayak sasarannya. Ukuran kinerja influencer kerap diukur dari jumlah dan karakteristik unik dari para follower-nya. Itu jadi bagian terpenting dari influencer. Sesuai sebutannya, orang dengan profesi influencer wajib punya kemampuan komunikasi yang dapat memengaruhi jalan pikiran target pesannya. Dalam kerjanya, influencer secara bertahap membangun opini. Biasanya mereka akan menyampaikan pengenalan adanya masalah, penyajian data, dan bukti-bukti penunjang, hingga menyusun tawaran solusi. Dalam dunia konvensional, seorang agen asuransi, motivator maupun para sales, dapat disejajarkan dengan influencer. Influencer yang berhasil, diukur dari mobilisasi opini. Kinerja ini mengesankan adanya dukungan dari banyak pihak.
Tingkat lebih lanjut dari influencer adalah profesi yang disebut dengan endorser. Jumlah dan karakteristik follower merupakan hal generik yang harus dimiliki profesi ini. Namun, yang jadi tuntutan utama pada endorser adalah kemampuannya mengulas dan menilai suatu produk, bisa barang komersial, jasa, personal politik, konsep, pengalaman, memorabilia, tempat (destinasi) maupun peristiwa. Segala sesuatu dapat melibatkan endorser, sepanjang memiliki nilai. Dari ulasan dan penilaian endorser, calon pemakai jadi paham posisi produk. Mereka lebih mudah dalam mengambil keputusan. Peran endorser berupa “restu” yang diberikannya pada produk.
Varian ketiga dari 2 jenis komunikator digital di atas adalah pelaku yang populer disebut sebagai buzzer. Buzzer juga merupakan pemilik akun media sosial dengan jumlah follower banyak. Akibat jumlah follower-nya yang banyak, pendapat yang disuarakannya jadi bergema, “nge-buzz”. Awet sebagai dengungan, sesuai namanya. Maka, jika disistematisasi, buzzer mengedarkan satu pendapat kepada banyak follower. Akibat peredaran itu tak jarang pendapat mengalami pengulangan dan beredar lebih luas di antara para follower-nya follower. Terbentuklah jejaring pendapat yang senada. Maka tak heran, sebuah pendapat akan beredar luas dan lama di jagat media sosial. Dalam keadaan yang terus berlanjut terlihat jelas peran buzzer, secara tak langsung, mengonstruksi sebuah realitas. Tampak terdengar artifisial, tetapi prosesnya alamiah. Hasil akhir yang dirasakan adalah ruang kebenaran diwarnai oleh luas dan banyaknya peredaran pendapat itu.
Secara ringkas, influencer, endorser, maupun buzzer sama-sama merupakan anasir dari fabrikasi opini. Ini mestinya sahih dijadikan sebagai sandaran kebenaran, terutama ketika didukung luasnya opini senada. Jika pun di antara ketiganya terdapat perbedaan cara kerja, lebih terlihat pada karakteristik pendekatan yang dijalankan. Endorser maupun influencer menjalankan pendekatan kerja kualitatif: berupa tindakan bermakna yang mendalam, meskipun keduanya tetap mengacu pada jumlah follower. Sementara, buzzer tampak menggunakan pendekatan kerja kuantitatif. Sifat pekerjaan buzzer mengandalkan jumlah: jumlah pesan yang diedarkan, maupun jumlah follower yang meneruskan pendapat. Dari kerja kualitatif maupun kuantitatif ini, realitas pun “terbentuk”. Maka hukum yang kemudian berlaku: makin masif sokongan terhadap suatu realitas, makin benar realitas itu. Tak peduli walaupun realitas hanya sebatas kesan yang ditimbulkan oleh pendapat senada banyak pihak.
Dalam pembahasan terkait komunikator digital ini kemudian kesan memperoleh perhatian dan garis tebal. Kesan memegang kendali penting, terlebih ketika dikaitkan dengan era yang berlaku. Sebagaimana sering disinggung, era realitas aktual jadi kabur oleh peran komunikator digital. Keberadaannya digeser jadi realitas post-truth—suatu realitas yang berkembang manakala kebenaran tak lagi taat pada substansi kebenaran itu sendiri, tetapi pada luasnya dukungan terhadap sesuatu yang dianggap benar. Kesan inilah yang akhirnya digunakan sebagai patokan kebenaran. Sesuatu yang tampak didukung dan luas diterima, akhirnya diringkas sebagai kebenaran.
Maka, tak mengherankan dalam meraih dominasi ekonomi-politik, pikiran pertama yang muncul alih-alih pada pengetahuan bersaing yang lazim. Pikiran pertama para operator ekonomi -politik hari ini berupa pengerahan komunikator digital. Mereka yang dikerahkan utamanya para buzzer. Buzzer lewat wahana follower-nya mampu mengonstruksi opini baru, bahkan melawan opini lama yang telah kokoh diterima. Pengetahuan tentang bumi bulat, pentingnya vaksin, maupun manfaat telur bagi kesehatan goyah oleh mekanisme ini. Kerja buzzer layaknya hempasan air pada kokohnya karang di tengah samudra. Konsistensi sapuan pada titik yang sama lambat laun merontokkan kekokohan. Sesuai prinsip agitasi: kebohongan yang dinyatakan terus-menerus akan diterima sebagai kebenaran pada akhirnya. Daya besar yang konsisten bakal mengubah kuatnya pendapat. Begitu yang berlaku.
Hal ini berbeda dengan influencer maupun endorser. Mereka memerlukan waktu yang lebih panjang untuk mencapai hasilnya. Keharusan membangun kerja yang berciri kualitatif menimbulkan adanya kompleksitas tambahan, seperti dalam menentukan influencer maupun endorser yang punya karakteristik follower sesuai dengan opini yang hendak dibangun. Demikian pula perlu strategi pesan yang sesuai dengan karakteristik follower. Karenanya, jika yang diharapkan adalah kecepatan hasil, pelibatan buzzer dapat ditempuh sebagai jalan pintas.
Maka, dalam penelusuran seksama: berbagai produk ekonomi maupun politik yang beredar di tengah masyarakat yang intensif memanfaatkan medium digital tak akan lepas dari peran buzzer. Demikian pun dengan produk yang tak jadi masuk arena. Asumsinya, produk yang beredar telah melewati mekanisme “pengujian kebenaran” untuk layak diterima. Maka produk yang beredar adalah produk yang telah dinyatakan benar. Sementara, yang tak jadi masuk ke tengah masyarakat akibat proses yang sebaliknya.
Maka, jadi persoalan besar saat suatu proses melibatkan buzzer. Profesi ini pada hakikatnya tak peduli pada kebenaran substansial. Tugas terpenting yang harus dijalankan adalah mendorong pendapat agar memperoleh dukungan. Besarnya dukungan adalah indikasi kebenaran yang dihasilkan. Substansinya, lain perkara. Maka tak heran, produk yang tampaknya layak beredar, termasuk produk ekonomi maupun politik, di tengah masyarakat hari ini tak jarang kinerjanya mengecewakan. Yang ditunjukkan berbeda dari yang beredar lewat medium komunikasi. Harapan yang terlanjur membesar terbentuk dari dukungan yang diproduksi para buzzer. Itukah yang sedang terjadi pada suatu Republik hari ini?