DELAPAN tahun sudah perang Suriah berkecamuk. Hingga saat ini belum ada tanda-tanda perang akan berakhir. Jika awalnya Amerika Serikat (AS) dan sekutunya ingin menjatuhkan rezim Presiden Bashar al-Assad dan kelompok teroris ISIS, memasuki 2017 perang Suriah menjadi kompleks dan semakin mengerikan.
Campur tangan asing kian memperkeruh dan membuat perang semakin panas. Tercatat ada enam negara yang terlibat konflik Suriah. Negara pertama tentu saja Suriah. Presiden Bashar al-Assad berusaha mempertahankan kekuasaannya dengan menggandeng sejumlah kelompok pemberontak bersenjata atau milisi. Assad didukung Rusia dan Iran menghadapi oposisi yang didukung AS dan sekutunya, Turki, Arab Saudi, dan negara-negara Teluk lainnya.
Negara adidaya AS, sejak pemerintahan Presiden Barack Obama pada 2014, menyatakan Assad harus melepaskan jabatannya sebagai Presiden Suriah. AS juga menggelar perang memberangus ISIS di Suriah dan Irak. AS berkoalisi dengan 60 negara sekutunya, termasuk Jerman untuk menyerang kelompok ekstremis dengan serangan udara sejak akhir 2014. Amerika menghindari pertempuran langsung dengan pasukan pendukung Assad.
Pada April tahun lalu, Presiden Donald Trump memerintahkan serangan udara ke pangkalan udara Suriah sebagai balasan kepada pemerintah Suriah yang dituding menggunakan senjata kimia menghadapi warga sipil. Di masa pemerintahan Presiden Trump, situasi kian membingungkan. AS juga memblokade Iran dan milisi Syiah Lebanon, Hizbullah, untuk secara permanen hadir di Suriah sehingga dapat mengancam Israel.
Lalu, ada Rusia yang juga bercokol di Suriah. Namun, Moskow telah lama mendukung pemerintahan Assad dan mempersenjatai pasukan pemerintah Suriah dengan persenjataan dan memberikan dukungan diplomatik dalam pembahasan damai di PBB. Rusia juga mengerahkan tentaranya ke Suriah.
Rusia pertama kali terlibat di Suriah pada Oktober 2015 saat melakukan serangan udara menghadapi teroris. Moskow ingin Assad tetap berkuasa dan mengamankan pengaruhnya di kawasan itu. Suriah juga sekutu terdekat Rusia di Timur Tengah. Rusia memiliki pangkalan militer di Latakia dan pangkalan angkatan laut di kota pelabuhan Tartus. Para pemimpin Rusia mendukung perjanjian damai faksi-faksi moderat Suriah untuk mendukung Assad tetap memegang kekuasaan di negara itu. Moskow juga mendukung pemberian otonomi terbatas untuk beberapa pasukan oposisi di wilayah tertentu di Suriah.
Lalu, ada Turki yang juga menancapkan pengaruh di Suriah. Sejak awal perang, Turki menjadi pendukung utama oposisi di Suriah. Turki bergabung dengan sejumlah faksi non-Kurdi oposisi Suriah, termasuk Angkatan Bersenjata Pembebasan Suriah atau FSA.
Turki sebagai koalisi Amerika Serikat bertempur lewat udara memberangus target-target ISIS di Suriah. Secara sepihak, Turki juga menyerang pasukan Kurdi di utara Suriah dan mengirim pasukan angkatan daratnya memasuki wilayah Suriah untuk menyerang ISIS dan pasukan Kurdi.
Selain itu ada Iran yang mendukung pemerintahan Assad sejak 2012. Teheran bahkan memberikan bantuan militer besar-besaran dan pelatihan kepada pasukan Assad. Iran bahkan mengirimkan pasukan elitnya, Garda Revolusi Islamic Iran dan milisi Syiah untuk bertempur di Suriah.
Sekutu Iran di Lebanon, Hizbullah, menjadi pendukung utama Assad. Iran secara langsung maupun tidak langsung bertempur melawan faksi-faksi moderat maupun ekstrimis di kelompok oposisi Suriah termasuk ISIS. Teheran punya tujuan mempertahankan Assad untuk melawan musuhnya, Israel dan Arab Saudi.
Negara terakhir yang bercokol adalah Arab Saudi. Kementerian Luar Negeri Arab Saudi sepenuhnya mendukung operasi militer AS di Suriah untuk membungkam ISIS dan rezim Assad. Arab Saudi merupakan sekutu AS terkuat di Timur Tengah dan pendukung utama sejumlah kelompok pemberontak bertempur melawan pemerintah Suriah dan ISIS.
Harapan Rusia
Menteri Luar Negeri (Menlu) Rusia Sergey Lavrov meyakini bahwa perang di Suriah telah berakhir. Dia menekankan perlunya mempromosikan penyelesaian krisis jangka panjang di Republik Arab Suriah dan seluruh kawasan Timur Tengah.
“Perang di Suriah benar-benar berakhir. Negara ini secara bertahap kembali ke kehidupan normal dan damai. Beberapa hotspot ketegangan tetap di wilayah yang tidak dikendalikan oleh pemerintah Suriah, seperti Idlib dan tepi timur Sungai Eufrat,” kata Lavrov dalam sebuah wawancara dilansir Sputniknews, pekan kemarin.
Menteri Lavrov berpikir bahwa tujuan paling penting di Suriah sekarang adalah memberikan bantuan kemanusiaan untuk warga sipil. “Dan mempromosikan proses politik dalam menyelesaikan krisis untuk mencapai stabilisasi situasi yang stabil dan tahan lama di negara itu dan seluruh kawasan Timur Tengah,” ujarnya.
Menurutnya, oposisi Suriah memainkan peran penting dalam penyelesaian krisis. “Kami percaya pembentukan dan peluncuran komite yang dirancang untuk mengembangkan reformasi konstitusi akan menjadi langkah penting dalam memajukan proses politik yang dipimpin dan dilakukan oleh Suriah sendiri dengan bantuan PBB,” kata Lavrov.
“Faktanya, mengadakan itu akan memungkinkan pihak Suriah—pemerintah—dan oposisi untuk memulai pertama kalinya dialog langsung tentang masa depan negara mereka,” katanya.
Untuk diketahui, pada 12 September, Presiden Rusia Vladimir Putin bertemu dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu. Menurut Lavrov, Rusia memberi tahu Israel tentang langkah-langkah yang diambil untuk mendukung upaya pemerintah Suriah dalam perangnya melawan teroris, yang masih tetap di zona Idlib, serta mempromosikan isu-isu yang berkaitan dengan bantuan kemanusiaan dan fasilitasi dari proses politik dalam konteks pembentukan komite konstitusi. “Menurut pendapat saya, menemukan pengertian dari rekan-rekan Israel kami tentang masalah ini akan bisa memperbaiki situasi Suriah menjadi lebih baik,” kata Menlu Larov.
B. Lilia Nova