Mereka tidak mementingkan cara-cara yang cerdas dan elegan. Haluan atau ideologi politik partai hanya menjadi embel-embel usang yang tak laku. Ideologi nasionalis, agama, demokrat segera ditinggalkan ketika mereka butuh berkoalisi untuk mencapai tujuan. Partai-partai yang saling sikut saat mengusung calon presiden bisa mendadak mesra saat membopong calon kepala daerah.
Semua ujung-ujungnya duit. Politikus yang hendak bertarung wajib menyiapkan uang. Mulai dari tahap kampanye, penghitungan suara, hingga sengketa di Mahkamah Konstitusi. “Orang yang bilang untuk menjadi politikus tidak membutuhkan duit, pasti dia tidak pernah ikut mencalonkan diri,” ucap seorang wali kota di Jawa Tengah.
Jadi, tanpa dukungan dana yang kuat, langkah seorang politikus untuk menggapai ambisi politiknya adalah omong kosong.
Dan celakanya, seiring berjalannya waktu, ongkos politik selalu meningkat. Kementerian Dalam Negeri menyebutkan, saat ini calon bupati atau wali kota butuh dana Rp20–100 miliar untuk memenangi pemilihan kepala daerah (pilkada). Ambil contoh, biaya yang dihabiskan pasangan Fauzi Bowo dan Nachrowi Ramli di Pilkada DKI Jakarta 2012 mencapai Rp62,6 miliar. Lima tahun berselang, pasangan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno menghabiskan dana kampanye sebesar Rp85,4 miliar.
Uang memang bisa membikin gila. Sebuah partai bisa tega untuk tidak mencalonkan kadernya sendiri. Ini terjadi di Jawa Timur. La Nyalla Mattalitti, kader Partai Gerindra, gagal melaju ke Pilkada Jawa Timur setelah menolak menyerahkan mahar Rp40 miliar yang diminta Ketua Umum Partai, Prabowo Subianto.
Sementara di Priangan, Dedi Mulyadi yang berembel-embel Ketua DPD Partai Golkar Jawa Barat nyaris terpeleset lantaran dinilai tak kompetitif untuk mengikuti Pilkada Jawa Barat. Lucu, sungguh.
Sekali lagi, politik memang pragmatis. Kondisi ini terjadi karena memang parpol hanya memperhitungkan kalah-menang. Urusan kepentingan rakyat atau konstituennya boleh jadi ditempatkan di nomor urut 17.
Mungkin parpol memang tidak punya niat untuk memberikan pendidikan politik pada rakyat. Jika rakyat melek politik, niscaya mereka ogah diminta memilih seorang calon yang tidak cakap ataupun memiliki rekam jejak buruk, meski diiming-imingi sejumlah uang.
Sejauh ini, akal bulus para politikus busuk masih berjalan baik. Rakyat dengan mudahnya dimobilisasi ke tempat-tempat pencoblosan. Alhasil, seorang politikus maupun keluarganya atau parpol yang nyata-nyata mengkhianati rakyat tetap dapat mencapai ambisinya. Sudah banyak contoh akan hal ini, salah satunya dalam kasus “papa minta saham” beberapa waktu lalu. Kala itu, para pengamat dengan yakin menyatakan partai-partai yang terlibat dalam kasus itu akan dihukum rakyat dalam Pilkada 2015. Nyatanya tidak. Seorang petahana, calon kepala daerah dari salah satu partai itu, tetap melenggang ke singgasananya. Bahkan, seorang anak koruptor dari partai tersebut juga sukses muncul sebagai wakil gubernur.
Tanpa pendidikan politik yang baik dan benar, kisah tentang politik uang dan korupsi untuk mengejar takhta akan terus berlangsung di pilkada-pilkada berikutnya.