Nah, apa saja tradisi-tradisi budaya menyambut Idulfitri ini? Berikut laporannya yang dirangkum SINDO Weekly.
Tradisi di Pulau Jawa
1. Kupatan
Ketupat menjadi salah satu makanan khas saat Lebaran tiba. Di Jawa, tradisi menghidangkan ketupat ini dikenal dengan istilah "Kupatan". Ketupat merupakan sejenis makanan atau beras yang dimasak dan dibungkus daun janur berbentuk prisma maupun segi empat. Nah, Kupatan memiliki makna dan filosofi mendalam.
Menurut sejarahnya, tradisi Kupatan berangkat dari upaya-upaya Walisongo saat memasukkan ajaran Islam. Karena zaman dulu orang Jawa selalu menggunakan simbol-simbol tertentu, akhirnya para Walisongo memanfaatkan cara tersebut. Tradisi Kupatan akhirnya menggunakan simbol janur atau daun kelapa muda berwarna kuning.
Dari sisi bahasa, kupat berarti mengaku lepat atau mengakui kesalahan. Bertepatan dengan momen Lebaran, kupat mengusung semangat saling memaafkan, semangat tobat pada Allah SWT dan sesama manusia. Dengan harapan, tidak akan lagi menodai dengan kesalahan di masa depan. Sementara, “kupat” dalam bahasa Arab adalah bentuk jamak dari kafi, yakni kuffat yang berarti sudah cukup harapan.
Dari sisi penyimbolan, pemilihan janur karena bahan ini biasa digunakan masyarakat Jawa dalam suasana suka cita. Umumnya, dipasang saat ada pesta pernikahan atau momen menggembirakan lain. Janur dalam bahasa Arab berasal dari kata “jaa nur” atau telah datang cahaya. Sebuah harapan cahaya menuju rahmat Allah sehingga terwujud negeri yang makmur dan penuh berkah.
Dari sisi isinya, dipilih beras yang baik-baik yang dimasak jadi satu sehingga membentuk gumpalan beras yang sangat kempel. Ini pun memiliki makna tersendiri, yakni makna kebersamaan dan kemakmuran. “'Harapan para Walisongo dulu, tradisi Kupatan ini bukan sebuah formalitas, tapi menjadi semangat kebersamaan umat,” ungkap pakar sejarah Islam Ahmad Mansyur.
Selain itu, biasanya Kupatan dimaknai dengan potongan miring sebagai simbol perempuan. Potongan kupat miring tersebut lazim disandingkan dengan lepet berbahan beras ketan dengan bentuk lonjong sebagai simbol laki-laki. “Artinya, pasangan suami-istri juga harus selalu hidup rukun dan bersanding”.
2. Grebeg Syawal di Jogyakarta
Tradisi Grebeg Syawal ini merupakan tradisi keraton dalam memperingati Lebaran. Grebeg Syawal diawali dengan keluarnya Gunungan Lanang (Kakung) dan dibawa ke Mesjid Gede Keraton Nyayogyakarta untuk didoakan.
Gunung Lanang ini terbuat dari sayuran dan hasil bumi lainnya dan dikawal oleh prajurit keraton. Nantinya, masyarakat akan berebutan mengambil hasil bumi yang terdapat di Gunung Lanang. Konon katanya tradisi ini dipercaya oleh masyarakat dapat membawa keberkahan dan ketenteraman.
3. Ngadongkapkeun di Banten
Tradisi Ngadongkapkeun di Banten menjadi salah satu wujud syukur bagi warga Desa Cisungsang, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Tradisi Ngadongkapkeun merupakan perpaduan adat lokal dengan ajaran Islam. Intinya, bentuk rasa syukur warga kepada Allah SWT dan penghormatan pada leluhur yang telah berjasa sehingga anak cucunya bisa hidup bahagia.
Tradisi Ngadongkapkeun dilakukan di saat ada rezeki berlebih, berlangsung pada hari pertama Ramadan, hari terakhir puasa, setelah salat Idul Fitri, sehabis ziarah kubur, pada bulan purnama dan magrib. Ngadongkapkeun bisa dipimpin langsung para pemimpin adat seperti olot atau kokolot lembur (tetua kampung).
Dengan berpakaian khas Banten Kidul, yakni berwarna hitam serta penutup kepala, kokolot lembur (tetua kampung) langsung memanjatkan doa kepada Allah SWT. Sehabis berdoa, masyarakat pun sungkem pada kokolot lembur. Bukti berjalan sejajarnya tradisi dan agama itu bisa dilihat ketika masyarakat sangat antusias dalam melaksanakan takbiran dan salat Idulfitri. Dua masjid di Cisungsang, Baiturrahman dan Cisungsang, ramai dijadikan ajang takbiran dan salat Idulfitri.
4. Pawai Pegon di Jember
Tradisi Pawai Pegon biasanya diadakan pada hari ketujuh Lebaran dengan cara gerobak ditarik oleh dua ekor sapi dan dihiasi dengan janur kuning. Masing-masing gerobak terdapat satu keluarga yang membawa ketupat beserta lauknya yang berasal dari hasil bumi. Tempat tujuannya adalah pantai. Nah, di sanalah agenda makan bersama dilaksanakan antarwarga. Tradisi ini sangat meriah dan selalu ditunggu tunggu warga Jember.
5. Lebaran Ketupat di Madura
Lebaran Ketupat atau Tellasan Topak di Madura juga dilaksanakan pada hari ketujuh setelah hari raya Idulfitri dengan memakan ketupat bersama. Uniknya, perempuan di sana mengantarkan makanan ke tempat orang yang lebih tua dengan meletakkan makanan yang beralaskan nampan di atas kepala.
Kalau Anda datang ke Madura, jangan mencari ketupat pada hari pertama Idulfitri karena warga di sana baru membuatnya seminggu setelah Lebaran. Unik banget ya.
Tradisi di Sumatera
Di berbagai daerah di Sumatera juga memiliki beragam tradisi dalam merayakan Lebaran. Misalnya saja acara Bakar Gunung Api di Bengkulu, tradisi Meugang di Aceh, Batobo di Riau atau tradisi Banyak di Bangka.
1. Ronjok Sayak di Bengkulu
Tradisi Bakar Gunung Api atau biasa disebut Ronjok Sayak biasanya dilakukan oleh Suku Serawai di Bengkulu sejak ratusan tahun silam. Tradisi ini dilakukan saat malam takbiran setelah salat Isya.
Tradisinya berupa acara bakar batok kelapa yang disusun seperti tusuk sate sehingga tinggi menjulang. Kemudian dibakar sehingga api membumbung tinggi. Ada nuansa magis saat melihat api yang membumbung tinggi. Konon katanya, tradisi ini sebagai simbol ucapan syukur kepada Tuhan dan juga doa kepada arwah keluarga agar tenteram di dunia dan akhirat.
2. Meugang di Aceh
Tradisi Meugang di Aceh biasanya dilakukan oleh semua warga di sebuah kampung. Warga akan berkumpul di masjid untuk memasak daging dan menyantapnya bersama-sama. Selain itu, daging yang ada juga biasanya dibagikan kepada sesama yang membutuhkan sebagai bentuk saling berbagi di bulan Ramadan. Tradisi ini juga dilakukan saat perayaan Iduladha.
3. Batobo di Riau
Orang asli Riau pasti tidak asing dengan tradisi Batobo. Ya, begitu datang ke kampung halaman, langsung disambut dengan perayaan ini. Warga yang pulang kampung diarak dengan menggunakan rebana mengelilingi kampungnya.
4. Badulang di Bangka
Di Bangka, tradisi Badulang sangat populer. Tradisi yang biasanya dilakukan setelah bersilaturahmi dan bermaaf-maafan ini merupakan tradisi makan begara yang artinya makan bersama. Namun, karena penyajiannya menggunakan tudung saji, akhirnya disebut juga dengan nama Bedulang. Uniknya, saat menyantap makanan kamu enggak boleh pakai sendok dan diharuskan pakai tangan. Jadi, harus cuci tangan dulu dengan aturan orang yang paling tua dulu yang cuci tangan, baru kemudian dilanjutkan dengan yang muda-muda.
Tradisi di Bali
Ngejot
Meski warga Pulau Dewata ini mayoritas bukan beragama Islam, muslim di Bali memiliki tradisi unik bernama Ngejot. Tradisi makan-makan pun dikenal di kalangan “Nyama Selam” di Bali. Nyama Selam yang artinya saudara dari kalangan muslim merupakan sebutan khas penduduk Bali yang mayoritas Hindu kepada kerabat sekampung yang beragama Islam.
Tradisi Ngejot ini biasa dilakukan menjelang Idulfitri. Warga muslim akan melakukan "Ngejot" atau memberikan hidangan kepada masyarakat sekitarnya, tidak peduli apa pun agamanya. Tradisi ini sudah dilakukan sejak masa kerajaan dan hampir dapat ditemukan di sebagian besar daerah di Bali. Tradisi ini juga menyiratkan keindahan toleransi beragama. Biasanya, umat Hindu akan memberikan balasan dengan melakukan "Ngejot" kepada warga muslim di hari Nyepi atau Galungan.
Tradisi di Nusa Tenggara Barat (NTB)
Di pulau seberangnya Bali, yakni Nusa Tenggara Barat (NTB) ada tradisi Bakar Ilo Sanggari dan Perang Topat di Lombok.
1. Bakar Ilo Sanggari
Tradisi Bakar Ilo Sanggari umumnya dilakukan warga NTB. Bermula warga membuat lentera yang terbuat dari bambu dan dililit minyak biji jarak kemudian dibakar, dipasang di sekeliling rumah sehingga rumah bercahaya dengan nyala api. Masyarakat NTB percaya bahwa dengan menyalakan lentera, malaikat, dan roh leluhur akan datang dan memberikan berkah di hari Lebaran.
Tradisi ini baru dilaksanakan seminggu setelah Lebaran. Umumnya tradisi ini dilakukan Suku Sasak. Setelah bakar Ilo, biasanya akan saling bersilaturahmi dan berziarah.
2. Perang Topat
Selain itu di Pura Lingsar, yang berlokasi di Lombok Barat terdapat tradisi unik, yaitu Perang Topat. Perang Topat di Lombok juga bertujuan untuk mempererat hubungan antarumat beragama. Perang Topat yang berarti perang ketupat ini dilakukan oleh suku asli Lombok, yaitu Suku Sasak dan biasanya dilakukan saat hari ke-6 Lebaran. Tradisi ini dimulai dengan mengarak hasil bumi, kemudian dilanjutkan dengan saling lempar ketupat yang dipercaya akan mengabulkan doa dan permohonan mereka.
Tradisi di Kalimantan
Festival Meriam Karbit di Pontianak
Di Pontianak, Kalimantan Barat, terdapat tradisi yang sudah dilakukan sejak lebih dari 200 tahun yang lalu. Tradisi tersebut biasa disebut sebagai Festival Meriam Karbit.
Masyarakat di sana akan menyalakan meriam dari kayu yang besar dengan diameter 30 cm kemudian diletakkan di tepian Sungai Kapuas. Awalnya meriam tersebut dibunyikan untuk mengusir kuntilanak dengan suaranya yang mendentum keras. Namun, kini digunakan untuk menyambut Lebaran.
Tradisi ini selalu diadakan pada saat menjelang Lebaran. Puncaknya pada malam takbiran. Siapkan telinga dan jantung apabila ingin melihat secara langsung.
Tradisi di Sulawesi
1. Fetival Tumbilotohe di Gorontalo
Ada tradisi Festival Tumbilotohe di Gorontalo dan tradisi Binarundak di Sulawesi Utara. Festival Tumbilotohe mirip dengan Bakar Ilo Sanggari di NTB yang memasang lampu di sekitar rumah. Lampu yang terbuat dari damar dan getah pohon dipasang sejak tiga malam terakhir menjelang Lebaran. Tradisi memasang lampu tersebut awalnya untuk memudahkan warga memberikan zakat fitrah di malam hari.
Kala itu, lampu terbuat dari damar dan getah pohon. Seiring waktu, lampu diganti dengan minyak kelapa dan kemudian beralih menggunakan minyak tanah. Tradisi ini sudah berlangsung sejak abad ke-15 masehi. Kini, lampu yang dipasang hadir dalam berbagai bentuk dan warna. Lampu dipasang tak hanya di rumah, melainkan di kantor, masjid, hingga sawah.
2. Binarundak
Tradisi Binarundak biasanya dilakukan masyarakat Sulawesi Utara tiga hari setelah Lebaran. Tradisi ini berupa memasak nasi jaha dan memakannya bersama-sama. Nasi jaha adalah beras ketan, santan, dan jahe yang dimasukkan ke dalam batang bambu, dilapisi daun pisang kemudian dibakar dengan serabut kelapa. Nasi jaha dimakan beramai-ramai dengan perantau yang mudik sehingga menjadi acara silaturahmi dan simbol syukur kepada Allah SWT.
Tradisi di Maluku
Pukul Sapu
Tradisi Pukul Sapu adalah tradisi penyambutan penduduk Maluku pada hari ketujuh Lebaran. Tradisi yang dilakukan oleh penduduk Leihitu, Maluku Tengah, ini bisa dibilang cukup ekstrem. Tradisi Lebaran ini biasanya dilakukan oleh perwakilan pria dari masing-masing desa yang meliputi desa Morella dan desa Mamala.
Para perwakilan dari masing-masing desa akan berkumpul di halaman masjid besar dan mereka akan saling memukul punggung satu sama lain menggunakan lidi dari pohon enau. Tradisi ini berlangsung selama sekitar 30 menit dan biasanya akan membuat kulit sobek hingga berdarah-darah.
Widaningsih